SEMARANG, TOPBERITA.CO.ID – Trainer dan motivator Papua, Jose Alvan Ohei, atau yang akrab disapa Kaka Jose, menegaskan bahwa akar persoalan di Tanah Papua bukanlah keterbelakangan, melainkan ketidaksesuaian pendekatan pembangunan yang tidak dikonversi sesuai konteks budaya lokal. Hal itu ia sampaikan dalam seminar bertajuk “Peradaban dan Proses Konversi” yang digelar di Hunter Cafe, Jalan Gatot Subroto No.137, Kota Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (1/11/2025), di hadapan mahasiswa Papua.
Kegiatan Yang diSelenggarakan di Hunter Cafe Jln Gatot Subroto No.137, Kota Semarang menjadi kota keempat dalam rangkaian tour Kaka Jose keliling Indonesia, setelah sebelumnya ia berbagi inspirasi di sejumlah kota studi mahasiswa Papua lainnya. Setiap kunjungannya membawa misi yang sama: membangun kesadaran baru tentang pentingnya konversi budaya dalam proses pembangunan dan pendidikan.
Dalam paparannya, Kaka Jose menjelaskan konsep “konversi” dengan analogi sederhana: seperti charger HP yang tak cocok colokannya.
“Kalau dipaksakan masuk, rusak. Begitu juga kebijakan nasional yang dipaksakan masuk ke Papua tanpa konversi budaya,” tegasnya.
Menurutnya, pejabat publik dan tenaga pendidik harus menjadi “konverter”, yakni pihak yang mampu menyesuaikan kebijakan pusat dengan karakter masyarakat Papua. Ia menilai banyak pejabat Otonomi Khusus (Otsus) gagal menjalankan fungsi itu karena lebih sibuk menikmati jabatan daripada mengawal penyesuaian kebijakan yang menyentuh masyarakat.

(Foto: Dok. Echon Papuansphoto)
Dalam konteks pendidikan, Kaka Jose mendorong guru-guru Papua agar mengajar dengan pendekatan lokal. Ia mencontohkan cara menjelaskan hukum Newton dengan menggunakan analogi busur dan panah agar siswa lebih mudah memahami konsep ilmiah.
“Yesus pun mengajar dengan perumpamaan yang dimengerti rakyat. Itulah konversi dalam pendidikan,” ujarnya.
Ia juga menyinggung soal pendekatan keamanan di Papua yang menurutnya sering salah arah. Papua, kata Kaka Jose, tidak perlu terus “dioperasi” dengan pendekatan militer, tetapi disembuhkan dengan komunikasi dan pemahaman budaya.
“Yang kita cari bukan hanya aman, tapi juga nyaman,” tegasnya.
Lebih jauh, Kaka Jose menegaskan bahwa Papua merupakan masyarakat budaya tua dengan peradaban yang telah eksis jauh sebelum berdirinya Indonesia.
“Honai, tifa, koteka—semua itu bukti bahwa kita sudah hidup dalam sistem budaya yang lengkap. Kita bangsa besar dengan akar peradaban sendiri,” ujarnya.
Ia menutup sesi dengan pesan inspiratif kepada mahasiswa Papua agar menjadi intelektual yang mampu menjembatani kebijakan dan masyarakat.
“Kita tidak tertinggal, kita hanya belum dikonversi dengan benar,” pungkasnya.
Mahasiswa dan Panitia: Materi yang Mengubah Cara Pandang
Ketua Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua Semarang (HIPMAPAS) Kota Studi Semarang, Nataniel Kobogau, mengaku mendapat pencerahan baru dari seminar ini.
“Yang pertama-tama saya bersyukur kepada Tuhan karena bisa dipertemukan dengan Kaka Jose. Materi ini sangat bermanfaat buat kami anak-anak Papua. Setelah kuliah, sering kami bingung harus ke mana. Tapi lewat seminar ini kami sadar bahwa bukan hanya hard skill, tapi soft skill juga penting,” ujarnya.
Menurut Nataniel, perubahan Papua tidak bisa ditempuh dengan kekerasan, melainkan melalui kreativitas dan pengembangan diri.
“Soft skill bisa jadi kunci membangun Papua yang lebih maju dan damai,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua Panitia kegiatan, Flora Edoway, mengaku terkesan dengan pendekatan materi Kaka Jose yang membuka kesadaran diri.
“Saya baru sadar bahwa sebelum kita ingin mengubah dunia luar, kita harus beres dulu dengan diri kita sendiri. Sebagai mahasiswa Papua, kami agen perubahan yang akan terus berbuat nyata,” ujarnya penuh semangat.**(Redaksi)













Terimakasih sudah memberikan motivasi serta dorongan melalui seminar Terimakasih Kaka Jose.
Semoga apa yang di sampaikan kakak Jose, di seminar menjadi bekal untuk membangun Tanah PAPUA ? Dengan menyadari diri kemudian bangkit
Membangun Tanah PAPUA ☺️